MAGETANNEWS.com. – Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mengguncang tatanan perdagangan global dengan menerapkan kebijakan tarif impor baru secara sepihak. Langkah tersebut menargetkan sejumlah negara, termasuk Indonesia, yang kini harus menanggung tarif tambahan sebesar 42% untuk memasukkan produk ekspornya ke pasar Amerika. Tarif tersebut terdiri dari tarif resiprokal sebesar 32% dan tarif dasar tambahan sebesar 10% (USTR, 2024). Penerapan kebijakan ini bukan hanya mengejutkan, tetapi juga berdampak serius terhadap perekonomian nasional, terutama sektor ekspor yang selama ini bergantung pada pasar Amerika Serikat sebagai salah satu mitra dagang utama (BPS, 2024).
Kebijakan Trump bukan semata-mata kebijakan ekonomi, tetapi juga merupakan bagian dari strategi politik luar negeri yang lebih luas. Pendekatan yang digunakan dapat dikaitkan dengan strategi Shock and Confusion, yaitu pendekatan taktis dalam hubungan internasional dan geopolitik yang bertujuan menciptakan guncangan dan ketidakpastian di kalangan mitra dagang maupun lawan politik. Strategi ini dijelaskan oleh George Friedman (2009) dalam The Next 100 Years, bahwa negara adidaya kerap menggunakan kebijakan mengejutkan untuk membingungkan dan memecah fokus lawan agar tetap bisa mengendalikan dinamika global.
Kebijakan ekonomi dalam hal ini menjadi instrumen politik, di mana langkah-langkah ekonomi seperti tarif, subsidi, dan sanksi digunakan untuk mencapai tujuan diplomatik dan politik internasional. Dalam kasus ini, tarif bukan hanya alat proteksi industri dalam negeri Amerika, tetapi juga bentuk tekanan politik kepada negara-negara mitra dagang agar tunduk pada kehendak Washington (WTO, 2023). Pendekatan ini mencerminkan pandangan realistis dalam hubungan internasional, bahwa kepentingan nasional menjadi poros dari seluruh kebijakan, termasuk ekonomi (Friedman, 2009).
Untuk memahami fenomena ini secara lebih komprehensif, pendekatan FUSI—Fundamental, Sentimen, dan Impact—dapat digunakan sebagai kerangka analisis. Dari sisi Fundamental, tarif tinggi berdampak langsung terhadap struktur biaya produksi dan perdagangan Indonesia. Banyak eksportir yang sebelumnya mampu bersaing di pasar AS kini menghadapi beban ongkos yang tak lagi kompetitif (Kemendag RI, 2025). Sentimen pasar juga terganggu, terlihat dari ketidakpastian yang mengemuka di kalangan pelaku usaha dan investor (CNBC Indonesia, 2025). Akibatnya, Impact atau dampak secara nyata terjadi berupa penurunan ekspor, potensi pengangguran, dan penurunan investasi asing langsung (Nurhadi, 2020).
Data dari Badan Pusat Statistik (2024) menunjukkan bahwa nilai ekspor Indonesia ke AS mencapai US$ 23,2 miliar. Produk unggulan seperti tekstil, alas kaki, elektronik, dan kopi kini kehilangan daya saing karena beban tarif tinggi. Beberapa perusahaan bahkan melaporkan penurunan permintaan hingga 20% di kuartal pertama 2025 (Kompas.com, 2025). Ini mengancam kelangsungan sektor padat karya yang mempekerjakan jutaan orang. Pemerintah memperkirakan kerugian nasional akibat kebijakan ini mencapai US$ 4 miliar per tahun (Kemenkeu RI, 2025).
Meski demikian, krisis ini bisa menjadi titik balik bagi Indonesia untuk melakukan reorientasi kebijakan perdagangan. Diversifikasi pasar ekspor ke Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika, dan Eropa Timur menjadi penting untuk mengurangi ketergantungan pada AS. Program hilirisasi dan peningkatan nilai tambah produk ekspor juga perlu diperluas ke sektor manufaktur dan pertanian (Kemendag RI, 2025). Diplomasi perdagangan harus diperkuat, baik di forum multilateral seperti WTO, APEC, maupun melalui CEPA dan FTA bilateral (WTO, 2023).
Pemerintah juga bisa mengadopsi kebijakan mitigasi dampak dengan memberikan insentif fiskal kepada pelaku ekspor, pengurangan PPh badan, serta perluasan akses pembiayaan dan digitalisasi ekspor melalui marketplace lintas negara. Selain itu, dukungan logistik dan fasilitas fiskal dapat diarahkan melalui lembaga seperti Indonesia Eximbank (Liputan6.com, 2025). Penguatan SDM dan peningkatan standar produk ekspor juga menjadi bagian dari solusi jangka panjang.
Dalam kerangka politik global yang makin kompleks, Indonesia harus memahami bahwa kebijakan ekonomi internasional tak pernah netral. Di tangan negara-negara besar seperti Amerika Serikat, kebijakan ekonomi bisa menjadi senjata politik. Oleh karena itu, respons terhadap strategi seperti Shock and Confusion dan tekanan tarif tinggi haruslah bersifat strategis, adaptif, dan memperkuat daya tahan nasional. Pendekatan FUSI menjadi penting agar pemerintah dapat membaca perubahan dari sisi struktur ekonomi, psikologi pasar, hingga dampak aktual di lapangan (Nurhadi, 2020). Dengan begitu, Indonesia dapat menyusun langkah yang tidak hanya defensif, tetapi juga transformatif untuk memperkuat posisi di kancah global.
Penulis ; Dr. Nunik Hariyani, S.Sos.,M.A Dekan FISIP UNMER Madiun Periode 2020 – 2024 Dan Praktisi Ilmu Komunikasi, Kebijakan Media dan Budaya.